Ciri-ciri Kelainan Genetik Down syndrome pada Anak - Jika mendapat stimulasi yang tepat dan kasih sayang yang berlimpah, anak-anak sindroma down bisa tumbuh dan berkembang maksimal.
"Down syndrome atau sindroma
down (SD) bukanlah penyakit, melainkan suatu kelainan genetik,” kata
Dr. Tan Shot Yen, M.Hum., dari Dr. Tan Wellbeing Clinics and Remanlay Special Needs' Health.
Pada SD, yang terganggu adalah kromosom nomor 21. Secara sederhana, manusia memiliki 46 kromosom, namun pada SD, jumlah kromosom 47. Kromosom pada manusia normalnya sepasang, namun pada SD, kromosom nomor 21 berjumlah 3 biji (
trisomy). Kelebihan kromosom inilah yang menimbulkan ciri khas sindroma
down.
Anak SD memang memiliki ciri yang khas, di antaranya memiliki muka seperti orang Mongol (mongoloid), tidak memiliki lipatan mata (
eyelid), berkulit agak putih, memiliki tekstur rambut tidak sama, serta sidik jari yang berbeda.
Sangat Sensitif
Anak penyandang SD memiliki risiko masalah kesehatan lebih tinggi dibandingkan anak-anak normal. Beberapa masalah kesehatan yang erat dengan anak-anak SD antara lain kelainan jantung. Misalnya, sekat jantungnya tidak terbentuk sempurna, sehingga risiko mengalami penyakit jantung bawaan tinggi. Jadi, kata Tan, “Masalahnya bukan memperbaiki sindroma
down-nya, tapi penyerta atau komplikasinya.” Biasanya, penyandang SD mempunyai beberapa kelainan di tempat lain. Namun, yang paling berat memang di jantung.
Anak-anak SD, yang termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus (ABK), adalah anak-anak yang sangat sensitif. Contoh, mereka punya masalah dengan pencernaan karena tidak tahan
gluten. Sistem kekebalan tubuhnya juga bermasalah dan diperburuk masalah makanan. Mereka juga merupakan kelompok yang rentan dengan perilaku yang membuat orangtua gerah.
Kadang, intelegensia yang tidak baik dan cara berkomunikasi yang tidak sempurna membuat anak seperti ini cenderung marah (tantrum), sama halnya pada ABK lain. Tantrum ini seringkali membuat orangtua ikut-ikutan tantrum. Akibatnya, orangtua cenderung mencari penyelesaian masalah yang cepat (
quick fix), “Yang penting anak tidak tantrum dan tenang,” kata Tan.
Masalah Gaya Hidup
Selain punya masalah dengan hormon tiroid (pertumbuhan) dan obesitas, anak-anak ini juga bermasalah dengan tinggi badan dan berat badan. “Tidak ada anak SD yang tubuhnya tinggi. Secara skeletal (tulang belulang), mereka juga
overflexible. Mereka biasanya punya gangguan tulang atlas (tulang leher yang pertama) karena sangat lenturnya tulang tersebut,” lanjut Tan.
Perubahan pada kulit juga terjadi, cenderung kering dan mudah mengelupas. Mereka juga bermasalah dengan tidur mereka dan mengalami
sleep apnea, yakni henti napas saat tidur. Meski jarang, masalah ini semakin diperparah jika kalau anak mengidap obesitas.
Masalah lainnya adalah pancaindra, misalnya kehilangan kemampuan pendengaran atau
hearing loss, dan daya tahan tubuh yang anjlok. Meski jarang, mereka juga cenderung mempunyai gangguan darah, termasuk leukemia.
Masalah penyerta atau komplikasi tadi biasanya diperburuk oleh asuhan gaya hidup yang tidak tepat. Alhasil, anak-anak dengan SD kebanyakan meninggal bukan karena kelainan genetik, tetapi karena “salah urus”. Contohnya, mereka menjadi obesitas karena melahap semua makanan yang disukai. Padahal badannya tidak membutuhkan makanan tersebut. Maka, orangtua yang tidak memiliki pengetahuan tentang gaya hidup sehat akan semakin memperparah kondisi tersebut.
Orangtua Sebagai Terapis
Oleh karena itu, pendidikan dan pengetahuan orangtua anak SD adalah keharusan. Orangtua terutama harus memahami syarat tumbuh kembang anak. “Memberi makan, misalnya. Apakah sekedar kenyang, doyan, atau memberi makan untuk kelangsungan hidupnya?” ujar Tan.
Orangtua juga harus paham, makanan seperti apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. “Kalau pola makan orangtua kacau, bagaimana bisa menyediakan makanan untuk anak SD?” ujar Tan.
Selain itu, kebanyakan orangtua ABK, termasuk SD, mengandalkan terapis. Padahal, terapis terbaik adalah orangtua. Mereka yang tahu kapan anaknya tantrum, tidak bernafsu makan, dan sebagainya.
Hal yang paling menyedihkan, kata Tan, tak sedikit para ayah yang “menghindar” dari merawat anak SD karena berbagai alasan. “Ini semakin membuat beban Si Ibu makin berat. Akibatnya, anak jadi makin ‘pincang’ karena tidak punya figur ayah. Padahal,
nurturing (merawat dan membesarkan anak) butuh figur ayah dan tidak boleh timpang.”
Jangan salah, stimulasi dan kasih sayang berlipat ganda dari orangtua dan orang-orang di sekelilingnya bisa membuat anak SD berkembang maksimal. “Syaratnya, jadilah orangtua yang cerdas, lakukan apa pun yang terbaik bagi anak. Tuhan tidak akan pernah menempatkan anak di keluarga yang salah. Orangtua anak-anak SD adalah orangtua yang hebat,” tegas Tan.
Kisah Si Jago Berenang
Dilihat dari prestasi dan aktivitasnya, tak ada yang tahu bahwa Janet Wilson Tjokro (18) adalah anak sindroma down. Ia jago berenang, bahkan pernah menyabet beberapa medali dan penghargaan. Janet juga mahir bermain piano dan menjuarai lomba piano.
Orang hebat di belakang Janet adalah ibunya, Ika Maria (52). “Punya anak SD pasti sedih dan khawatir. Bagaimana dengan masa depannya? Soalnya, banyak sekali hal-hal yang harus dilatih, bahkan sampai sekarang. Tapi, akhirnya bisa juga,” kata Ika.
Ika menikah tahun 1993 dan Janet lahir pada 1 Januari 1995. “Semua pasangan pasti ingin anaknya cantik dan pintar. Tapi, pada saat Janet berusia seminggu, dokter mengatakan bahwa ia mempunyai kelainan yang dapat dilihat dari wajahnya. Jarak kedua mata jauh yang merupakan ciri sindroma down,” kisah Ika.
Ika dan suami sangat sedih dan tidak percaya. Pasalnya, tidak ada saudara mereka yang mengalami hal seperti ini. Untuk meyakinkan diri, mereka melakukan cek darah dan hasilnya benar, kromosom Janet berjumlah 47.
Akan tetapi, Ika dan suami tidak pernah malu mempunyai anak penyandang SD. Sejak kecil, ia selalu membawa Janet ke mana saja. “Kami tidak malu punya anak seperti Janet. Kami percaya, suatu hari Tuhan akan memakai Janet menjadi berkah bagi banyak orang,” lanjutnya.
Tepat di usia 2 tahun 8 bulan, Janet mempunyai adik laki-laki yang tumbuh sehat dan cerdas. Dan, hingga kini, apa pun yang berhasil dilakukan Janet selalu membuat Ika dan suami bangga. “Usia setahun, dia bisa duduk, usia 2 tahun 5 bulan bisa berjalan. Rasanya senang dan bangga. Juga ketika dia bisa berkomunikasi dan baca tulis,” kata Ika yang kemudian bergabung dan menjadi salah seorang Pengurus Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI).
Saat memasuki usia 4 tahun, Janet dimasukkan ke playgroup dan usia 5 tahun masuk SLB C Dian Grahita. Setelah bergabung ke ISDI, Ika pun tahu banyak anak-anak SD yang senang berkumpul bersama teman-temannya. Salah satunya, berenang. “Tadinya tidak pernah terpikir mengajak Janet berenang, tapi setelah masuk ISDI, akhirnya dia saya ajak berlatih renang,” lanjutnya.
Sekarang, Janet menguasai empat gaya dan sempat meraih medali di berbagai kejuaraan. Selain berenang, Ika juga memasukkan Janet les piano. "Ternyata bisa dan menjuarai lomba piano anak-anak ABK, Februari lalu,” lanjut Ika. Kini, Ika mengajak Janet bergabung di Center of Hope ISDI. “Di sini, Janet dilatih mandiri mulai dari belajar bina diri, memasak, membuat jus, membuat kue, melukis, komputer, keterampilan mengenal uang (dengan menabung ke bank), dan sebagainya.”
Ciri-Ciri Anak Sindroma Down
1. Muscle hypotonia: Lemah otot.
2. Flat facial profile: Profil muka yang datar.
3. Oblique palpebral fissures: Bentuk mata yang ke atas.
4. Dysplastic ear: Bentuk kuping yang abnormal.
5. Simian crease: Satu garis horizontal di telapak tangan.
6. Hyperflexibility: Kelenturan yang berlebihan di persendian.
7. Dysplastic middle phalanx of the fifth finger: Hanya ada satu sendri di jari kelingking.
8. Epicanthal folds: Lipatan di dalam ujung mata.
9. Excessive space between large and second toe: Jarak yang berlebihan antara jempol kaki dan telunjuk kaki.
10. Enlargement of tongue: Lidah besar yang tidak sebanding dengan mulutnya
.