Penyebab Terjadinya Abortus atau Keguguran Janin Bayi - Abortus atau keguguran adalah kelahiran yang terhenti pada kehamilan di bawah 20 minggu atau berat badan janin di bawah 500 gram. Kelahiran yang terjadi di atas 20 minggu, bukan lagi abortus, melainkan partus. Menurut dr. Hj. Hasnah Siregar, Sp OG, abortus biasanya diawali oleh adanya perdarahan pada selaput lendir rahim atau desidua basalis, dan menyebabkan kerusakan pada jaringan di sekitarnya. Akibatnya, calon janin terlepas sebagian atau seluruhnya. Kondisi demikian membuat calon janin menjadi benda asing bagi rahim, sehingga rahim berupaya mengeluarkan isinya dengan cara kontraksi. “Inilah yang disebut abortus yang spontan. Dengan kata lain, terjadinya abortus merupakan reaksi tubuh untuk mengeluarkan benda asing yang berupa calon janin tadi,” ujar dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari RSIA Harapan Kita dan RSIA Hermina Jakarta ini.
Penyebab abortus sendiri cukup beragam dan dikelompokkan dalam empat aspek. Aspek pertama adalah kelainan dari calon janin tadi. “Ini adalah abortus akibat yang terjadi karena kelainan pada kromosom, alias bibitnya sudah tidak baik,” ujarnya. Abortus juga dapat terjadi akibat lingkungan rahim yang tidak baik, misalnya kondisi endometrium yang tidak sempurna. “Bisa saja akibat pengaruh dari luar tubuh ibunya. Misalnya, terkena virus, radiasi, konsumsi obat-obatan, ataupun pengaruh psikis, seperti beban pekerjaan atau hubungan dengan suami.”
Yang kedua adalah abortus yang terjadi akibat kelainan pada plasenta sendiri. Misalnya, akibat infeksi pada vili-vili chorealis yang menyebabkan plasenta yang tidak bagus, dan menyebabkan pengiriman makanan ke calon janin melalui plasenta terganggu. “Ini menyebabkan gangguan pertumbuhan pada calon janin, dan selanjutnya janinnya mati,” ujar Hasnah.
Aspek ketiga adalah penyakit yang berasal dari si ibu sendiri. Misalnya, calon ibu mendapat gangguan kesehatan pada saat kehamilan, seperti akibat infeksi dan mendadak panas tinggi, radang paru (pnemonia), sakit ginjal, terserang malaria, terinfeksi bakteri atau virus, dan sebagainya. “Semuanya ini bisa menyebabkan abortus,” ujar Hasnah.
Selain itu, abortus juga bisa terjadi pada ibu yang mengalami anemia (kekurangan haemoglobin atau kekurangan butir darah merah) berat, mengalami keracunan, terpaksa menjalani operasi lain pada saat hamil, atau adanya infeksi pada rongga perut. “Penyakit menahun, seperti toksoplasmosis, juga bisa menyebabkan abortus.”
Kelainan pada alat kelamin dalam, menurut Hasnah, merupakan aspek keempat. Misalnya kelainan letak rahim (retroversi uteri atau letak rahim turun), adanya mioma atau tumor di dalam rongga rahim. “Bisa pula karena mulut rahim sendiri yang tidak bagus (incompeten servik atau servik yang tidak baik) karena jahitan pada persalinan sebelumnya yang tidak bagus. Tak jarang Incompeten servik merupakan bawaan.
Jadi, penyebab terjadinya keguguran memang cukup banyak. “Oleh karena itu, dokter harus teliti mencari penyebabnya lebih dulu. Banyaknya penyebab tadi juga membuat kasus keguguran selalu ada, terutama di daerah yang tidak terjangkau dokter kebidanan,” ujar Hasnah sambil menambahkan, dengan penanganan dokter atau bidan yang baik, maka kematian ibu akibat keguguran dapat dihindari.
JARINGAN DIPERIKSA
Tak jarang, seorang wanita yang baru saja mengalami abortus, beberapa waktu kemudian kembali mengalami abortus. Nah, untuk mencegah terjadinya abortus, khususnya pada pasangan muda yang baru menikah, sebaiknya mereka melakukan pemeriksaan pranikah. Sesuai namanya, pada pemeriksaan pranikah, selain pemeriksaan kesehatan secara umum juga dilakukan pemeriksaan khusus, seperti pemeriksaan kromosom, sperma pria, dan sebagainya. “Pemeriksaan seperti ini sudah lazim dilakukan di berbagai negara maju. Tujuannya untuk menghindari adanya kelainan kromosom, penyakit keturunan, atau hal lain yang menghambat kebahagiaan kedua pasangan. Ini perlunya pemeriksaan pranikah” ujar Hasnah.
Sementara bagi wanita yang baru saja mengalami keguguran, upaya pencegahan terjadinya abortus ulangan diawali dengan membersihkan sisa calon janin dengan cara kuretase oleh dokter. “Jika tidak dibersihkan dapat menyebabkan gangguan, misalnya menyebabkan terjadinya kanker,” tambahnya. Sementara jaringan yang dikeluarkan dari dalam rahim tidak dibuang begitu saja, melainkan diperiksa di laboratorium untuk dianalisa secara anatomi dan patologi, apakah benar jaringan yang dikeluarkan itu calon janin atau bukan. Pemeriksaan laboratorium, selain untuk mendapat informasi tentang penyebab abortus, juga untuk menentukan langkah berikutnya terhadap pasien. “Sayangnya, sering terjadi, khususnya di daerah pelosok, jaringan tadi dibuang begitu saja atau tidak dilengkapi oleh data anatomi-patologi,” ujar Hasnah menyayangkan.
Ada dua kemungkinan wujud jaringan yang keluar saat abortus, yaitu berupa penyakit, misalnya hyperplasia endometrium, atau pertumbuhan sel endometrium yang tidak terkendali. “Ini berbahaya, karena dalam jangka waktu lama dapat berubah menjadi kanker,” ujar Hasnah. Jika dari hasil pemeriksaan ternyata benar jaringan tadi adalah calon janin, atau hasil keguguran, maka dokter wajib mencari tahu kenapa sampai terjadi keguguran. “Pasalnya, mengacu pada banyaknya materi penyebab keguguran, maka penyebab keguguran pada masing-masing orang akan selalu berbeda. Ini harus dicari tahu untuk menentukan proses pengobatan,” ungkapnya.
PASCA-KEGUGURAN
Setelah seorang wanita mengalami keguguran, biasanya dokter akan memintanya untuk tidak menggunakan alat KB selama enam bulan pertama. Alasannya, jelas dr. Hj. Hasnah Siregar, Sp OG, seperti halnya masa nifas selama 40 hari, 3 bulan pertama untuk menyembuhkan luka, 3 bulan berikutnya untuk mencari tahu penyebab keguguran. “Jadi, tujuannya adalah untuk menyembuhkan penyebab keguguran sebelumnya, sebelum ia diperbolehkan hamil dengan perasaan mantap dan tenang.”
Menyoal tidak dizinkan menggunakan alat kontrasepsi selama 6 bulan, menurut Hasnah, apapun alat kontrasepsi yang digunakan, sedikit banyak akan menimbulkan perubahan di dalam rahim. Misalnya pil KB di dalam tubuh mengubah keseimbangan hormon, sedangkan spiral akan mengganggu situasi vagina. “Untuk mengembalikan keoada keadaan semula kan, perlu waktu lebih banyak lagi. Kan, lama.” Bagaimana jika pasien ternyata hamil dalam 6 bulan tersebut? Menurut Hasnah, ini akan berisiko keguguran berulang. “Pasalnya, rahim belum sehat betul. Itu sebabnya, dalam penanganan keguguran, selain dokter harus teliti dan kerja keras, pasien harus disiplin menjalani perawatan,” ujarnya.
Selama 6 bulan, sejak mendapat nifas, dokter akan melakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab keguguran. “Di sini dilakukan berbagai pemeriksaan, antara lain pemeriksaan darah, air seni, jaringan vagina, toksoplasmosis, rubella, citomegalovirus, herpes I dan II, dan pemeriksaan ACA. Dari sana biasanya akan ketahuan 1-2 penyebab terjadinya keguguran. Nah, selanjutnya dilakukan terapi,” ungkap Hasnah.
Selama menjalani pemeriksaan, kepada pasien maupun suaminya dianjurkan menghindari kebiasaan buruk, seperti merokok, minum minuman keras, narkoba, dan sebagainya. “Hal ini secara langsung maupun tidak akan dapat menyebabkan keguguran. Ini sudah dibuktikan oleh para ahli kedokteran,” tambahnya.
Selanjutnya, dari hasil pemeriksaan, dokter akan menemukan penyebab terjadinya keguguran. Sesuai dengan penyebab, maka dokter dapat menentukan cara pengobatan dan perawatannya. “Kalau penyebabnya tumor, maka tumornya kita angkat dulu, Kalau kista, diangkat dulu kistanya. Begitu juga kalu penyebabnya adalah infeksi, maka infeksinya dihilangkan lebih dulu. Jadi, pengobatannya sangat individual,” jelasnya. Kecuali jika penyebab keguguran adalah kelainan kromosom. “Tak ada lagi yang bisa dilakukan.”
Selain secara fisik, dokter juga tidak bisa mengesampingkan faktor psikologis. Menurut Hasnah, keguguran seringkali berkaitan erat dengan gangguan psikis. Adanya perasaan sangat tertekan dapat menyebabkan gangguan psikosomatis, diantaranya terjadinya keguguran. “Banyak sekali contohnya, seperti konflik di kantor, perkawinan yang tidak direstui, konflik di dalam rumah tangga, dan sebagainya.” Di sisi lain, keguguran itu sendiri juga dapat menyebabkan gangguan psikis. Misalnya kalau calon ibu ternyata sangat menginginkan kehadiran seorang anak. “Keadaan demikian juga perlu diantisipasi untuk mencegah keguguran berulang,” tambah Hasnah
.